Cuaca ekstrim yang melanda Indonesia beberapa bulan terakhir ini mengakibatkan terjadinya kelangkaan pada beberapa pasokan bahan pangan di negeri ini. Mungkin masih terasa segar diingatan kita, harga cabai rawit yang memedas mencapai Rp 100.000/kg atau bahkan lebih. Kemudian disusul pasokan beras yang menipis, sehingga memaksa kita untuk meningkatkan impor beras dengan target stok mencapai 1,5 juta ton. Namun hal – hal tersebut ternyata tidak dapat mengurangi kebutuhan atau permintaan masyarakat akan cabai, apalagi beras yang merupakan makanan pokok bangsa kita, tetapi sebalinya keadaan seperti ini justru membuat masyarakat semakin memburu keberadaannya. Berbeda halnya dengan kelangkaan kedelai lokal yang berada di pasaran, karena keadaan tersebut membuat beberapa UKM (Usaha Kredit Mandiri) untuk mengurangi produksinya guna mengimbangi harga yang semakin melonjak agar permintaan masyarakat tidak berkurang akan produk yang mereka hasilkan.
Kondisi cuaca yang tidak menentu ini juga yang dijadikan alasan untuk turut mengimpor kedelai guna memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dalam berita radio, wakil menteri pertanian, Bayu Krishnamukti mengatakan bahwa adanya kenaikan harga kedelai di pasaran dipengaruhi oleh iklim basah yang panjang, yang akhirnya membuat petani kedelai beralih menjadi petani padi. Meskipun begitu, beliau juga mengatakan bahwa untuk wilayah Aceh dan Jawa Timur, stok kedelai masih dinilai dalam kondisi aman. Namun nyatanya, saat ini pemerintah memutuskan impor kedelai sebanyak 600.000 sampai 700.000 ton atau bahkan mencapai 1 juta ton guna menutupi kekurangan kedelai lokal. Kebutuhan kedelai di Indonesia sendiri setiap tahunnya sebesar 1,5 juta sampai 1,7 juta ton, dengan kemampuan produksi nasional per tahun berada pada kisaran 900.000 sampai 1 juta ton. Kemampuan produksi sejumlah itu didapat ketika kondisi normal, jadi bisa dibayangkan dengan kondisi seperti ini seberapa besar ketergantungan kita akan kedelai impor.
Namun adanya usulan kementrian pertanian tentang penggunaan kedelai transgenik membuat masyarakat awam sedikit mendapat angin segar di tengah tumpukan kedela impor, karena kedelai transgenik memiliki produktivitas tinggi yaitu sekitar 30-40% lebih besar dari kedelai biasa. Hanya saja penggunaan bibit transgenik ini masih menjadi pertimbangan serius, karena adanya resiko buruk terhadap kerusakan lingkungan.
Data harga kedelai saat ini terus melonjak menjadi US $ 549,49/ton atau sekitar Rp 5.000.000/ton. Harga ini naik hampir dua kali lipat dalam 7 bulan terakhir. Pada Juli 2010 harga kedelai internasional hanya US $ 367,98/ton. Padahal seperti yang kita tahu, kedelai merupakan bahan baku pembuatan tempe, tahu dan kecap. Bisa dikatakan kalau tempe, tahu dan kecap merupakan menu utama lauk pauk kita guna memenuhi kebutuhan 4 sehat 5 sempurna yang mengandung protein tinggi. Harganya yang cukup murah pun, selama ini membuatnya dikenal sebagai “makanan kelas bawah”. Namun setelah kita mengalami kelangkaan kedelai lokal seperti saat ini, masihkah dapat dikatakan bahwa tahu ataupun tempe merupakan makanan kelas bawah?