Memikat Lawan Jenis Dengan Tarian

Kamis, 05 November 2009



Baru tau ternyata burung cendrawasih ekor kuning kecil atau yang dikenal dengan nama latin Paradisae Minor jantan memikat pasangannya dengan ritual tarian loh. Dalam ritual ini cendrawasih ekor kuning memamerkan bulu pada bagian ekornya yang indah disertai dengan kicauan merdunya. Unik yah? Selain tariannya, keunikan burung ini juga adalah sebutannya, yaitu burung poligami species pengicau dengan ukuran sedang dan panjang mencapai 32 cm. Wah bisa masuk grup poligami di facebook tuh...hahaa mantaaaap!!



Angklung Didaftarkan Ke UNESCO


Saya baru membaca dari sebuah koran Ibukota, kalau Departemen Kebudayaan dan Pariwisata telah mendaftarkan salah satu alat musik tradisional yang berasal dari Sunda, yaitu angklung ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa – Bangsa (UNESCO). Hal ini, menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Ad Interim Mohamad Nuh, ditujukan agar angklung diakui sebagai warisan budaya dunia asal Indonesia, seperti halnya keris, wayang dan batik yang telah didaftarkan sebelumnya dan telah diakui kini. Berkas pendaftarannya sudah disampaikan pada 26 agustus lalu dan kini sedang dipelajari di sekertariat UNESCO.
Saya sih berharap angklung bisa segera diakui dan disahkan sebagai warisan budaya yang berasal dari Indonesia dan semoga alat – alat musik yang lain atau kebudayaan Indonesia yang lainnya bisa segera menyusul pendaftarannya. Yaa...semoga saja pendaftaran ini bukan karena kecemasan masyarakat akan klaim dari bangsa lain, tetapi karena kebanggaan dan kecintaan kita akan keanekaragaman seni dan budaya Indonesia. Selain itu menurut saya pendaftaran ke UNESCO saja tidak akan cukup untuk membuat bangsa lain mengakui kebudayaan kita sebagai milik kita, apabila kita sendiri tidak berniat untuk memilikinya.


Bumi Akan Mengalami Kepunahan Massal


            Para ahli Biologi memperkirakan dunia tengah menghadapi ancaman kepunahan keanekaragaman hayati secara masal. Dugaan ini muncul dari krisis keanekaragaman hayati yang semakin parah. Diperkirakan saat ini sebanyak 50 – 150 species bumi punah setiap harinya.Perkiraan ini berdasarkan atas proyeksi laju kepunahan yang terjadi saat ini. Proyeksi tersebut menyebutkan, sekitar 50% dari sekitar 20 juta species yang ada saat ini akan punah dalam waktu kurun waktu 100 tahun ke depan. Laju kepunahan burung dan binatang menyusui yang terjadi antara tahun 1600 dan 1675 misalnya telah diperkirakan mencapai 5 – 50 kali lipat dari laju kepunahan sebelumnya. Kepunahan ini tidak hanya mengancam species, tetapi juga mengancam gen dan ekosistem tempat species itu tinggal.
            Indonesia merupakan salah satu kawasan yang memiliki ancaman kepunahan terbesar. Ekosistem hujan tropis di negara kita berkurang 10 – 20 juta hektar setip tahunnya. Sebanyak 70% terumbu karang juga mengalami kerusakan sedang hingga berat. Kerusakan juga mengancam hutan bakau, sungai, danau dan kawasan pertanian Indonesia.
            Menurut para ahli, kepunahan masal kali ini terjadi dalam skala yang jauh lebih luas dan lebih cepat dibandingkan dengan lima kepunahan massal yang pernahj terjadi di Bumu sebelumnya. Kepunahan massal terbaru terjadi sekitar 65 juta tahun lalu. Luasnya kepunahan massal kali ini bisa dilihat dari banyaknya species kurang dari 35.000 tahun, padahal jutaan tahun yang lalu satu species bisa berusia 10 juta tahun. (SUMBER : KOMPAS)
            Sungguh sangat memprihatinkan keadaan seperti saat ini bukan? Saat bumi seperti divonis akan kehilangan banyak penghuninya. Kita para penduduk bumi, harus berupaya keras untuk menghilangkan atau mungkin meredam skala kepunahannya, karena kepunahan tersebut akan berdampak pada kelangsungan kehidupan kita di bumi. Jika diperhatikan, selama ini ilmu pengetahuan dan teknologi lebih berorientasi pada kesejahteraan dan kepentinggan umat manusia semata. Sadar atau tidak, keadaan bumi saat ini sudah sangat memprihatinkan dan solidaritas kita akan keberadaan species lain atau terhadap lingkungan kita masih sangat minim. Mungkin saat ini berbagai penemuan di bidang konservasi memberikan harapan dalam pelestarian alam. Masyarakat secara umum juga bisa berkontribusi dengan menekan penggunaan energi dan bahan tambang serta mengurangi konsumsi yang bisa menyebabkan polusi serta eksploitasi alam secara berlebihan. Lalu anda sebagai masyarakat secara khusus, apakah yang akan anda lakukan untuk meredam kepunahan massal ini??? Mulailah berkontribusi!!

KOPERASI INDONESIA SAAT INI

Minggu, 01 November 2009


Koperasi sebagai suatu sistem ekonomi, mempunyai kedudukan (politik) yang cukup kuat karena memiliki cantolan konstitusional, yaitu berpegang pada Pasal 33 UUD 1945, khususnya Ayat 1 yang menyebutkan bahwa "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan". Dalam Penjelasan UUD 1945 itu dikatakan bahwa pembangun usaha yang paling cocok dengan menggunakan asas kekeluargaan itu adalah koperasi. Tafsiran itu sering pula dikemukakan oleh Mohammad Hatta, yang sering disebut sebagai perumus pasal tersebut. Pada penjelasan konstitusi tersebut juga dikatakan bahwa sistem ekonomi Indonesia didasarkan pada asas Demokrasi Ekonomi, di mana produksi dilakukan oleh semua dan untuk semua yang wujudnya dapat ditafsirkan sebagai koperasi. Dalam wacana sistem ekonomi dunia, koperasi disebut juga sebagai the third way, atau "jalan ketiga", istilah yang akhir-akhir ini dipopulerkan oleh sosiolog Inggris, Anthony Giddens, yaitu sebagai "jalan tengah" antara kapitalisme dan sosialisme.
Koperasi diperkenalkan di Indonesia oleh R. Aria Wiriatmadja di Purwokerto, Jawa Tengah pada tahun 1896. Ia mendirikan koperasi kredit dengan tujuan membantu rakyatnya yang terjerat hutang dengan rentenir. R. Aria Wiriatmadja atau Tirto Adisuryo, yang kemudian dibantu pengembangannya oleh pejabat Belanda dan akhirnya menjadi program resmi pemerintah. Seorang pejabat pemerintah Belanda, yang kemudian menjadi sarjana ekonomi, Booke, juga menaruh perhatian terhadap koperasi di Indonesua. Atas dasar tesisnya, tentang dualisme sosial budaya masyarakat Indonesia antara sektor modern dan sektor tradisional, ia menarik kesimpulan bahwa sistem usaha koperasi lebih cocok bagi kaum pribumi daripada bentuk badan-badan usaha kapitalis. Pandangan ini agaknya disetujui oleh pemerintah Hindia Belanda sehingga pemerintah kolonial itu mengadopsi kebijakan pembinaan koperasi. Meski koperasi tersebut berkembang pesat hingga tahun 1933-an, pemerintah Kolonial Belanda khawatir koperasi akan dijadikan tempat pusat perlawanan, namun koperasi menjamur kembali hingga pada masa pendudukan Jepang dan kemerdekaan.
Pada tanggal 12 Juli 1947, pergerakan koperasi di Indonesia mengadakan Kongres Koperasi yang pertama di Tasikmalaya, Jawa Barat. Hari itulah kemudian ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia. Bung Hatta meneruskan tradisi pemikiran ekonomi sebelumnya. Ketertarikannya kepada sistem koperasi agaknya adalah karena pengaruh kunjungannya ke negara-negara Skandinavia, khususnya Denmark, pada akhir tahun 1930-an. Walaupun ia sering mengaitkan koperasi dengan nilai dan lembaga tradisional gotong-royong, namun persepsinya tentang koperasi adalah sebuah organisasi ekonomi modern yang berkembang di Eropa Barat. Ia pernah juga membedakan antara "koperasi sosial" yang berdasarkan asas gotong royong, dengan "koperasi ekonomi" yang berdasarkan asas-asas ekonomi pasar yang rasional dan kompetitif. Bagi Bung Hatta, koperasi bukanlah sebuah lembaga yang antipasar atau nonpasar dalam masyarakat tradisional. Koperasi, baginya adalah sebuah lembaga self-help lapisan masyarakat yang lemah atau rakyat kecil untuk bisa mengendalikan pasar. Karena itu koperasi harus bisa bekerja dalam sistem pasar, dengan cara menerapkan prinsip efisiensi. Koperasi juga bukan sebuah komunitas tertutup, tetapi terbuka, dengan melayani non-anggota, walaupun dengan maksud untuk menarik mereka menjadi anggota koperasi, setelah merasakan manfaat berhubungan dengan koperasi. Dengan cara itulah sistem Koperasi akan mentransformasikan sistem ekonomi kapitalis yang tidak ramah terhadap pelaku ekonomi kecil melalui persaingan bebas (kompetisi), menjadi sistem yang lebih bersandar kepada kerja sama atau koperasi, tanpa menghancurkan pasar yang kompetitif itu sendiri.
Dewasa ini, di dunia ada dua macam model koperasi. Pertama, adalah koperasi yang dibina oleh pemerintah dalam kerangka sistem sosialis. Kedua, adalah koperasi yang dibiarkan berkembang di pasar oleh masyarakat sendiri, tanpa bantuan pemerintah. Jika badan usaha milik negara merupakan usaha skala besar, maka koperasi mewadahi usaha-usaha kecil, walaupun jika telah bergabung dalam koperasi menjadi badan usaha skala besar juga. Di negara-negara kapitalis, baik di Eropa Barat, Amerika Utara dan Australia, koperasi juga menjadi wadah usaha kecil dan konsumen berpendapatan rendah. Di Jepang, Koperasi telah menjadi wadah perekonomian pedesaan yang berbasis pertanian.
Di Indonesia, Bung Hatta sendiri menganjurkan didirikannya tiga macam koperasi. Pertama, adalah koperasi konsumsi yang terutama melayani kebutuhan kaum buruh dan pegawai. Kedua, adalah koperasi produksi yang merupakan wadah kaum petani (termasuk peternak atau nelayan). Ketiga, adalah koperasi kredit yang melayani pedagang kecil dan pengusaha kecil guna memenuhi kebutuhan modal. Bung Hatta juga menganjurkan pengorganisasian industri kecil dan koperasi produksi, guna memenuhi kebutuhan bahan baku dan pemasaran hasil.
Menurut Bung Hatta, tujuan koperasi bukanlah mencari laba yang sebesar-besarnya, melainkan melayani kebutuhan bersama dan wadah partisipasi pelaku ekonomi skala kecil. Tapi, ini tidak berarti, bahwa koperasi itu identik dengan usaha skala kecil. Koperasi bisa pula membangun usaha skala besar berdasarkan modal yang bisa dikumpulkan dari anggotanya, baik anggota koperasi primer maupun anggota koperasi sekunder. Contohnya adalah industri tekstil yang dibangun oleh GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia) dan berbagai koperasi batik primer. Karena kedudukannya yang cukup kuat dalam konstitusi, maka tidak sebuah pemerintahpun berani meninggalkan kebijakan dan program pembinaan koperasi. Semua partai politik, dari dulu hingga kini, dari Masyumi hingga PKI, mencantumkan koperasi sebagai program utama. Hanya saja kantor menteri negara dan departemen koperasi baru lahir di masa Orde Baru pada akhir dasarwarsa 1970-an. Karena itu, gagasan sekarang untuk menghapuskan departemen koperasi dan pembinaan usaha kecil dan menengah, bukan hal yang mengejutkan, karena sebelum Orde Baru tidak dikenal kantor menteri negara atau departemen koperasi. Bahkan kabinet-kabinet yang dipimpin oleh Bung Hatta sendiri pun tidak ada departemen atau menteri negara yang khusus membina Koperasi.
Koperasi di Indonesia dalam perkembangannya mengalami pasang dan surut. Sebuah pertanyaan sederhana namun membutuhkan jawaban yang cukup njelimet, terlontar dari seorang peserta. Mengapa jarang dijumpai ada koperasi yang bertumbuh menjadi usaha besar yang menggurita, layaknya pelaku ekonomi lain, yakni swasta (konglomerat) dan BUMN? Mengapa gerakan ini hanya berkutat dari persoalan yang satu ke persoalan lain, dan cenderung stagnan alias berjalan di tempat? Mengapa Koperasi sulit berkembang di tengah "habitat" alamnya di Indonesia? Inilah sederet pertanyaan yang perlu dijadikan bahan perenungan .Padahal, upaya pemerintah untuk "memberdayakan" koperasi seolah tidak pernah habis. Bahkan, bila dinilai, mungkin amat memanjakan. Berbagai paket program bantuan dari pemerintah seperti kredit program: KKop, Kredit Usaha Tani (KUT), pengalihan saham (satu persen) dari perusahaan besar ke koperasi, skim program KUK dari bank dan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang merupakan kredit komersial dari perbankan, juga "paket program" dari Permodalan Nasional Madani (PNM), terus mengalir untuk memberdayakan gerakan ekonomi kerakyatan ini. Tak hanya bantuan program, ada institusi khusus yang menangani di luar Dekopin, yaitu Menteri Negara Urusan Koperasi dan PKM (Pengusaha Kecil Menengah), yang seharusnya memacu gerakan ini untuk terus maju. Namun, kenyataannya, koperasi masih saja melekat dengan stigma ekonomi marjinal, pelaku bisnis yang perlu dikasihani, pelaku bisnis "pupuk bawang", pelaku bisnis tak profesional. Masalah tersebut tidak bisa dilepaskan dari substansi koperasi yang berhubungan dengan semangat. Dalam konteks ini adalah semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. Jadi, bila koperasi dianggap kecil, tidak berperan, dan merupakan kumpulan serba lemah, itu terjadi karena adanya pola pikir yang menciptakan demikian. Singkatnya, koperasi adalah untuk yang kecil-kecil, sementara yang menengah bahkan besar, untuk kalangan swasta dan BUMN. Di sinilah terjadinya penciptaan paradigma yang salah. Hal ini mungkin terjadi akibat gerakan koperasi terlalu sarat berbagai embel-embel, sehingga ia seperti orang kerdil yang menggendong sekarung beras di pundaknya. Koperasi adalah "badan usaha", juga "perkumpulan orang" termasuk yang "berwatak sosial".
Definisi yang melekat jadi memberatkan, yakni organisasi sosial yang berbisnis atau lembaga ekonomi yang mengemban fungsi sosial. Berbagai istilah apa pun yang melekat, sama saja, semua memberatkan gerakan koperasi dalam menjalankan visi dan misi bisnisnya. Mengapa tidak disebut badan usaha misalnya, sama dengan pelaku ekonomi-bisnis lainnya, yakni kalangan swasta dan BUMN, sehingga ketiganya memiliki kedudukan dan potensi sejajar. Padahal, persaingan yang terjadi di lapangan demikian ketat, tak hanya sekadar pembelian embel-embel. Hanya kompetisi ketat semacam itulah yang membuat mereka bisa menjadi pengusaha besar yang tangguh dan profesional. Para pemain ini akan disaring secara alami, mana yang efisien dalam menjalankan bisnis dan mereka yang akan tetap eksis. Koperasi yang selama ini diidentikkan dengan hal-hal yang kecil, pinggiran dan akhirnya menyebabkan fungsinya tidak berjalan optimal. Memang pertumbuhan koperasi cukup fantastis, di mana di akhir tahun 1999 hanya berjumlah 52.000-an, maka di akhir tahun 2000 sudah mencapai hampir 90.000-an. Namun, dari jumlah yang demikian besar itu, kontribusinya bagi pertumbuhan mesin ekonomi belum terlalu besar. Koperasi masih cenderung menempati ekonomi pinggiran (pemasok dan produksi), lebih dari itu, sudah dikuasai swasta dan BUMN. Karena itu, tidak aneh bila kontribusi koperasi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) baru sekitar satu sampai dua persen, itu adalah akibat frame of mind yang salah. Di Indonesia, beberapa koperasi sebenarnya sudah bisa dikatakan memiliki unit usaha besar dan beragam serta tumbuh menjadi raksasa bisnis berskala besar. Beberapa koperasi telah tumbuh menjadi konglomerat ekonomi Indonesia, yang tentunya tidak kalah jika dibandingkan dengan perusahaan swasta atau BUMN yang sudah menggurita, namun kini banyak yang sakit. Omzet mereka mencapai milyaran rupiah setiap bulan. Konglomerat yang dimaksud di sini memiliki pengertian: koperasi yang bersangkutan sudah merambah dan menangani berbagai bidang usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak dan merangsek ke berbagai bidang usaha-bisnis komersial.